Beranda | Artikel
Katakanlah Aku Beriman Kepada Allah Kemudian Istiqamahlah
Senin, 12 Oktober 2020

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Ihsan Al-Atsary

Katakanlah Aku Beriman Kepada Allah Kemudian Istiqamahlah adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Aktualisasi Akhlak Muslim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary pada Senin, 24 Shafar 1442 H / 12 Oktober 2020 M.

Ceramah Agama Islam Tentang Katakanlah Aku Beriman Kepada Allah Kemudian Istiqamahlah

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat perhatian dan sayang kepada umatnya. Dan salah satu bentuk kasih sayang dan perhatian beliau adalah Nabi selalu mengingatkan kita agar istiqamah di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak menyimpang darinya.

Satu ketika Sufyan bin Abdillah mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, ajarilah aku satu perkataan yang jelas dan cakupannya luas dalam Islam sehingga aku tidak perlu menanyakan lagi kepada selain engkau.” Yaitu kata-kata yang mencakup inti dan pokok dari semua persoalan. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyampaikan suatu wasiat kepadanya:

قُلْ آمَنْتُ باللهِ ثُمَّ استَقِمْ

“Katakanlah: ‘aku beriman kepada Allah’,”

1. Beriman Kepada Allah

Jagalah iman, aqidah, itu adalah modal yang paling dalam kehidupan kita. Walaupun kita dibakar, walaupun kita dicincang, maka aqidah adalah harga mati yang harus kita jaga. Karena kita hadir di dunia juga dengan membawa aqidah, yaitu fitrah. Kita datang ke dunia dengan membawa tauhid. Dan tidak ada yang lebih penting dalam urusan dunia kita selain menjaga tauhid tersebut sampai kita kembali kepada pencipta kita. Maka pertama adalah nyatakan dan ucapkan: “Aku beriman kepada Allah.”

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّـهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ ﴿١٣﴾

Sesungguhnya orang-orang yang menyatakan Rabb kami adalah Allah (Laa Ilaaha Illallah), kemudian dia istiqamah di atas tauhid itu. Mereka tidak akan bersedih dan mereka tidak akan merasa takut.” (QS. Al-Ahqaf[46]: 13)

Itulah kebahagiaan. Bahagia itu adalah tidak ada lagi rasa takut yang menghantui dan tidak ada lagi kesedihan yang dirasakan. Maka orang itu akan bahagia. Di dunia juga demikianlah bahagia itu, sering disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an: “لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ”. Itulah definisi bahagia yang hakiki di dunia, yaitu tidak ada rasa kesedihan dan tidak ada rasa takut. Karena dia hanya takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hanya berharap kepada ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu surga.

Maka apapun yang terluput dari dunia ini tidak membuatnya sedih. Apapun yang terlewatkan darinya dalam urusan-urusan dunia ini tidak akan membuat dia bersedih. Kalaulah dia tidak bisa jadi orang kaya, dia tidak bersedih. Kalaulah dia tidak bisa menjadi atasan karena sampai mati jadi bawaan teurs, dia tidak bersedih. Kalaulah di dunia ini dia terus gagal dan tidak pernah berhasil, dia tidak bersedih. Karena yang menjadi harapan adalah ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhirat. Karena dia yakin bahwasanya:

وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ ﴿١٧﴾

Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A’la[87]: 17)

Maka orang seperti ini tidak akan bersedih dengan apapun yang terluput darinya. Ditinggal orang yang dikasihi, dia tidak tenggelam dalam kesedihan. Terlepas darinya materi dunia yang dicintai, dia juga tidak bersedih. Jadi tidak ada yang dapat membuatnya bersedih. Kecuali dia terluput dari surga, itu yang membuatnya bersedih. Masuk neraka, itu yang membuatnya sedih.

Orang seperti ini akan bahagia. Ujian apapun yang akan diberikan Allah kepadanya, dia siap untuk menghadapinya. Kita tidak bisa menghindar dari ujian itu. Tapi macam-macam manusia ketika dapat ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ada ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala itu membuyarkan semua rasa bahagia yang ada pada seseorang. Ada sebagian orang yang bergembira ketika mendapatkan ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Itulah level iman Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau merasa gelisah apabila tidak dapat ujian dan beliau merasa bahagia ketika mendapatkan ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena ini adalah momen untuk mengangkat iman dan derajat hamba di akhirat. Demikianlah, tidak ada yang bisa membuat dia sedih.

Juga tidak ada yang bisa membuat dia takut karena dia hanya takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia tidak takut tekanan dari manusia. Dan manusia memang punya sifat seperti itu, suka mengintimidasi dan suka menakut-nakuti yang lainnya. Bagi orang beriman yang tujuan dan orientasi hidupnya adalah akhirat, dia tidak takut itu. Dia tidak takut dipecat karena menjalankan peraturan Allah, menjalankan syariat Allah. Dia tidak takut kehilangan dunia karena melaksanakan hukum-hukum Allah, misalnya di dalam perniagaan. Dia tidak takut rugi, dia tidak takut bangkrut, dia tidak takut ditinggal orang karena menjalankan perintah Allah, misalnya menjadi pedagang yang jujur, melaksanakan amanah. Hukum-hukum muamalah dan perniagaan dia jalankan menurut aturan Islam, walaupun ada resiko. Kebanyakan manusia takut dengan resiko-resiko itu. Bagi orang yang menyatakan “Aku beriman kepada Allah”, maka mereka tidak takut dengan tekanan-tekanan itu.

Hakikat berani itu bukan nekat ngawur, bukan, tapi berani mengambil resiko. Ada yang berani mengambil resiko untuk meraih bahagia dunia saja. Tapi di sana ada hamba yang lebih tinggi keberaniannya, yaitu berani mengambil resiko untuk meraih surga. Kalaulah para pengejar, pengagum, pendewa dunia, mereka berani mengambil resiko untuk meraih dunia yang sedikit, lalu orang-orang yang berharap akhirat kenapa takut mengambil resiko untuk meraih kebahagiaan yang tiada batas, kebahagiaan yang abadi? Itu akan dapat dimiliki oleh seseorang yang menyatakan Rabb kami adalah Allah. Maka Nabi berkata kepada Sufyan bin Abdillah: “Katakan: ‘Aku beriman kepada Allah`”.

Beruntunglah orang-orang yang bisa menghadirkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam setiap langkahnya. Itu menjadi satu poin yang selalu diingatnya. Sehingga dia berhati-hati dalam melangkah dan dia selalu mengoreksi dirinya. Karena dia berjalan bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka penting sekali seorang senantiasa memperbarui tauhidnya, yaitu menaikkan kembali imannya. Karena iman kita naik turun, kita perlu momen-monen dimana kita mengangkat kembali keimanan kita. Maka nyatakan: “Aku beriman kepada Allah.”

2. Istiqamah

Konsistensi di dalam iman itu adalah perkara yang berat. Menjaga level iman tetap di atas dalam waktu yang lama itu adalah perkara yang berat. Kita bisa mencapai puncak iman tapi hanya sesaat. Seiring kemudian drop lagi, tidak ada konsistensinya, tidak bertahan. Dan yang Allah sukai adalah amal yang konsisten, dia bisa bertahan lama di puncak iman tersebut. Dan itu memang tidak mudah.

Sama seperti kendaraan. Kalau kita ingin mencapai top speed (misalnya 200 km per jam), kalau untuk menyentuh angka itu mobil-mobil kecil pun bisa. Tapi untuk bisa konstan di kecepatan itu tentunya tidak semua mobil bisa, mungkin jebol mesinnya. Hanya mobil-mobil tertentu yang mampu bertahan di top speed seperti itu dalam waktu yang lama. Sama seperti itu dalam bab iman juga. Kita merasakan berada di puncak imna, tapi berapa lama itu? Ini bergantung kepada ketahanan iman masing-masing. Ada yang mampu bertahan lama, ada yang cuma sebentar saja.

Kita lihat di dalam menuntut ilmu. Di sana ada orang yang semangat menuntut ilmu, mungkin karena lagi trend. Ada yang semangat hijrah karena lagi trend hijrah. Tapi berapa lama dia bisa bertahan dalam jalur hijrahnya? Tentu berbeda-beda. ada yang cuma sesaat, begitu trend itu hilang, maka hilanglah semangat hijrahnya. Dia pun kembali kepada keadaan semula. Di sana ada orang yang berhasil mempertahankan trend hijrahnya dalam waktu yang lama. Walaupun ada waktu-waktu dimana iman melemah. Seiring dengan iman lemah, maka amal pun turun dan dia mengalami futur. Tapi dia bisa mendongkrak kembali keimanannya.

Nah, di sinilah konsistensi itu diperlukan. Itulah dia istiqamah. Bagaimana kita bisa mempertahankan iman dan amal kita di puncaknya dalam waktu yang selama mungkin. Dan kita berharap dia sampai pada puncaknya di penghujung usia kita. Dan itulah yang disebut dengan Khusnul Khotimah.

Maka ada hadits Nabi yang berbunyi:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ

“Sesungguhnya amal itu yang menjadi patokannya adalah penghujungnya.” (HR. Bukhari)

Maka perlu kita mempertahankan trend positif pada iman dan amal kita, dan itu tidak mudah tentunya. Maka itu yang dipesankan Nabi kepada Sufyan bin Abdillah. Nyatakan iman, kemudian istiqamahlah.

Ketika kita misalnya menyatakan bahwa kita hijrah. Itu adalah salah satu pintu-pintu iman. Namun mempertahankan hijrah, itu tidak mudah. Maka Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa istiqamah itu adalah karomah. Kalau kita ingin melakukan suatu amalan, mungkin itu mudah. Misalnya shalat malam, kita bisa mengamalkannya nanti malam. Tapi malam berikutnya, sebulan kemudian, setahun kemudian, wallahu a’lam apakah amal itu masih kita lakukan atau tidak.

Demikian juga kita meraih hidayah, itu mudah. Tapi mempertahankan hidayah, itu perkara yang sangat berat. Kita masuk ke jalur ilmu, mungkin mudah. Muncul kesadaran untuk menuntut ilmu, maka kita pun datang ke majelis taklim. Tapi sampai kapan itu bisa bertahan? Bergantung kepada niat dan keteguhan hatinya. Kalau hatinya tidak di situ dan tidak ada niat untuk mempertahankan itu, maka mungkin itulah yang disebut sebagai amal yang panas-panas tai ayam. Hanya euforia sesaat saja kemudian setelah itu hilang tidak berbekas.

Bagimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian dan simak pembahasan yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian Tentang Katakanlah Aku Beriman Kepada Allah Kemudian Istiqamahlah

Download mp3 yang lain tentang Aktualisasi Akhlak Muslim di sini.


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/49197-katakanlah-aku-beriman-kepada-allah-kemudian-istiqamahlah/